Dear All,
Baru-baru ini menghadiri acara kondang(an) pernikahan seorang teman. Tak dinyana, tak disangka, oleh Allah ditunjukkan suatu fragmen yang sangat membekas di hati. Daripada entar-entar lupa dan terbuang sia-sia, walaupun terkesan sepele, mendingan kuposting di mari (secara dah lama juga blog ini nggak kulirik, kesempatan ada bahan tulisan neeeh… š ).
Setelah beberapa lama acara pernikahan dimulai, datang beberapa orang tamu ke acara walimatul ursy tersebut. Menilik dari posisi berjalan rombongan tamu tersebut, bisalah dilihat mana yang menjadi pemimpin rombongan tersebut. Dan kemudian melihat dari gurat kelelahan di wajahnya, bisa juga diperkirakan, manakah orang yang bertugas mengantar rombongan tersebut, kemungkinan besar adalah pengemudi yang mengiringi rombongan tersebut. Dengan tak mengurangi rasa hormatku pada rombongan tersebut,walaupun masih perkiraan, kedua orang tersebut selanjutnya akan kusebut sebagai pimpinan dan pengemudinya. Ada orang-orang yang lain dalam rombongan itu, namunĀ tokoh sentral dalam tulisan kali ini adalah dua orang tersebut.
Kebetulan acara pernikahan ini bukan model standing party, di mana tamu datang, bersalaman dengan mempelai dan orang tuanya, makan hidangan, lalu bisa pulang. Pesta nikah kali ini menggunakan tatacara yang mengharuskan tamu untuk mengikuti semua runtutan acara hingga selesai, jadi dalam adabnya, semua tamu harus menunggu sampai acara selesai baru dapat bersalaman dengan mempelai dan pulang. Tak terkecuali aku, dan rombongan yang kuceritakan tadi.
Dalam posisi duduk rombonganĀ tadi, pimpinan rombongan, duduk berdampingan dengan, salah satunya, pengemudi tersebut. Mungkin karena rasa lelah yang tak dapat ditahan ataupun disembunyikan, mungkin juga karena jenuh mengikuti runtutan acara, pengemudi sempat tertidur beberapa lama sambil duduk. Beberapa lama setelah mereka duduk, dihidangkan kepada mereka gelas-gelas minuman teh hangat, yang diletakkan di satu sisi meja. Melihat pengemudi yang notabene bisa dikatakan adalah bawahannya, tertidur karena kantuk, pemimpin rombongan mengambilkan gelas minuman dan diletakkan di meja di depan pengemudi.
Pengemudi yang mungkin menyadari terhidangnya minuman di depannya, terbangun. Sambil tersenyum beliau mengucapkan terimakasih dengan santun. Kemudian berganti mengambilkan gelas minuman untuk pemimpinnya. Dengan santun dipersilakan pemimpin tersebut untuk minum terlebih dahulu, dan setelah itu tidak kulihat lagi pengemudi tersebut tertidur.
Well, jika pembaca sekalian tidak menangkap esensi dari fragmen tersebut, mungkin karena kejadian itu terlalu sepele untuk diperhatikan. Namun Allah berkenan memberi pelajaran kepadaku, contoh nyata dari suatu ajaran yang kuperoleh dari aturan Islam. Di mana atasan, bisa boss, juragan, ayah,Ā atau pemimpin yang baik adalah yang menyayangi bawahannya. Sedangkan bawahan, bisa karyawan, buruh, anak, atau rakyat yang baik otomatis akan hormat dan santun kepada atasannya. Semua itu dibukakan di depan mataku pada fragmen sepele tadi. Bukankan itu adalah hubungan yang ideal dan serasi antara ‘atasan’ dan ‘bawahan’.
Apakah sang pemimpin membiarkan saja bawahannya yang kelelahan dan mengabaikannya? Tidak. Dengan rasa sayangnya, diambilkannya minuman untuk bawahannya tersebut. Lalu kemudian apakah pengemudi tadi menganggap biasa saja hal tersebut, dan berharap dimaklumi jika saat itu, karena lelah, beliau tidak melayani atasannya? Tidak. Dengan santun dan penuh rasa hormat, diambilkannya minuman untuk pemimpinnya sambil tak lupa disapa dan dipersilakannya untuk meminum lebih dahulu.
Subhanallah
Tinggalkan Balasan